Beberapa tahun yang lalu, seorang
remaja yang hanya dikenali dengan nama keluarganya, Wang, tertarik dengan salah
satu iklan di internet tentang cara mendapat uang cepat. Bukan dengan cara
membanting tulang, tapi cukup merelakan organ tubuhnya untuk dijual. Karena
begitu menginginkan produk Apple, iPad 2, Wang nekat menjual salah satu
ginjalnya.
Uang yang dihasilkannya sebesar Rp35 juta memang cukup untuk membeli barang
impiannya itu. Namun sebenarnya nilai sebesar itu jauh lebih kecil bila
dibandingkan harga pasaran sebuah ginjal, yaitu sekitar Rp350 juta. Sisa
jumlahnya memang dibagi-bagi untuk petugas medis dan beberapa pihak yang
terlibat.
Bagi Wang sendiri, pengorbanannya itu sekilas terbayar lunas karena setelahnya
dia bisa segera memiliki apa yang selama ini sangat diinginkannya. Namun,
kondisi itu ternyata hanya berlangsung sesaat. Genap setahun kemudian,
kesehatan Wang justru semakin melemah dikarenakan satu ginjalnya yang tersisa
gagal berfungsi dengan baik. Ginjalnya itu tak mampu menyaring racun, sehingga
membuat Wang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Kini, dia malah
menjadi salah satu dari banyak orang di China yang membutuhkan transplantasi
organ. Dan biaya perawatannya ini melampaui jumlah uang yang dulu pernah
didapatnya dari hasil menjual ginjal. Sungguh ironis!
Apa yang terjadi pada Wang adalah akibat nyata dari sebuah pengambilan
keputusan yang keliru. Wang menjadi contoh fatal dari sebuah tindakan yang
didasarkan pada emosi sesaat atau kondisi ekonomi atau lingkungan sekitar.
Karena itulah, dalam mengambil sebuah langkah kecil atau besar, keputusan kecil
atau besar, tindakan kecil atau besar, sangat tidak disarankan untuk
terburu-buru memutuskan. Perlu adanya pertimbangan yang matang akan setiap
konsekuensi yang pasti menyertai setiap langkah atau tindakan yang kita ambil.