Alkisah, ada seorang raja berkuasa yang ingin mencari kebahagiaan. Maka, dipanggillah orang pintar di kerajaan untuk mencarikan bahagia untuk raja.
Setelah berpikir, beberapa hari kemudian, orang tersebut mendatangi raja sembari membawakan sebuah berlian sangat elok yang keindahannya mengundang decak kagum banyak orang. “Baginda, terimalah batu permata terindah di dunia ini. Baginda akan jadi raja terhebat dengan permata satu-satunya di dunia ini. Baginda pasti akan bangga, dan itu pasti mendatangkan bahagia yang Baginda cari.”
Baginda menerima berlian itu dengan senang hati. Beberapa hari, berlian itu dipakainya sebagai penghias mahkota. Sangat elok. Namun, suatu ketika, saat raja mengaguminya, ia melihat sedikit cacat di berlian tersebut. Hatinya kecewa. Bahagia yang dirasakan, tiba-tiba lenyap begitu saja.
Maka, segeralah dipanggil orang pintar lain untuk mencarikan bahagia. Orang pintar tersebut segera menunaikan perintah raja. Beberapa saat berlalu, hingga orang itu datang meminta sang raja untuk membuat pesta. Dalam pesta itu, banyak relasi dari berbagai penjuru negeri datang. Gelak tawa dan rasa suka karena banyak teman baru membuat sang raja bahagia. Ia senang, punya banyak keluarga baru yang membuatnya terus tertawa dan senang. Karena itu, raja meminta agar pesta bukan hanya sesaat, melainkan hingga beberapa waktu lamanya. Namun, lama-kelamaan, karena terus berpesta, orang-orang pun mulai bosan. Mereka pun satu per satu meninggalkan arena pesta hingga akhirnya, pesta bubar dan membuat raja kembali bersedih.
Rasa bahagia ternyata hanya dirasakan raja sebatas ketika pesta tiba. Begitulah, sang raja kemudian terus mencari bagaimana agar rasa bahagia dimilikinya. Berbagai orang pintar terus diundangnya. Barangkali, hingga saat ini, Anda termasuk orang yang terus mencari-cari kebahagiaan. Kadang hilang, kadang pergi, kadang datang kembali, kadang lenyap tak berjejak lagi. Itulah ketika bahagia kita rasakan sebagai sebuah “benda”. Bahagia selalu diharapkan datang, padahal sejatinya ia selalu ada bersama kita. Padahal sebenarnya, bahagia itu sederhana. Bahagia “hanya sebatas” pada apa yang kita pikirkan semata. Ibarat mendapat hadiah, kita pasti bahagia. Namun ketika tahu hadiah itu tak seperti yang kita harapkan, lantas segera berubah jadi kecewa. Padahal, kita sebenarnya tetap mendapat hadiah.
Inilah “anomali” rasa bahagia yang kerap membuat banyak orang merasa, bahagia harus terus dicari. Itu jugalah, yang membuat “definisi” tiap orang terhadap nilai kebahagiaan tampak berbeda-beda, padahal sebenarnya esensinya senada.