Pada suatu hari yang cerah,
seorang guru muda berjalan melintasi sebuah desa. Walaupun usianya baru
menginjak dasawarsa ketiga, namun kepandaian dan kebijaksanaannya terkenal di
seluruh penjuru negeri.
Tiba-tiba saja, langkahnya dihentikan oleh seorang pemuda yang bertubuh tinggi
besar, beraut wajah merah, tampak marah dan tidak senang.
"Hei," katanya kasar. "Anda itu tidak berhak mengajari orang
lain..!"
Kemudian pemuda ini mulai berteriak menantang dan menghina guru muda ini.
"Tahu tidak? Anda ini sama saja bodohnya dengan orang lain. Punya
kepandaian sedikit saja, sok tahu! Badan begitu kecil nyalimu cukup besar ya.
Ayoo...kalau berani kita berkelahi!"
Dengan wajah tenang, sambil tersenyum, sang guru muda malahan balik bertanya:
"Teman. Jika kamu memberi hadiah untuk seseorang, tapi seseorang itu tidak
mengambilnya, siapakah pemilik hadiah itu?"
Si pemuda terkejut, karena tiba-tiba diberi pertanyaan yang aneh. Spontan, ia
menjawab lantang, "Pertanyaan bodoh! Tentu saja! Hadiah itu tetap menjadi
milikku karena akulah yang memberikan hadiah itu."
Guru muda ini tersenyum, lalu berkata, "Kamu benar. Kamu baru saja
memberikan marah dan hinaan kepada saya dan saya tidak menerimanya, apalagi
merasa terhina sama sekali. Maka kemarahan dan hinaan itu pun kembali kepadamu.
Benar kan? Dan kamu menjadi satu-satunya orang yang tidak bahagia. Bukan saya.
Karena sesungguhnya, melampiaskan emosi kemarahan adalah sebuah proses
menyakiti diri sendiri. Membangkitkan sel-sel negatif di dalam diri."
Pemuda itu terdiam, mencoba mencerna kata demi kata sang guru. Kepala dan
hatinya seperti tersiram air dingin, ketika mendapat sebuah kesadaran baru.
Sang guru muda melanjutkan. "Jika kamu ingin berhenti menyakiti diri
sendiri, singkirkan kemarahan dan ubahlah menjadi cinta kasih. Ketika kamu
membenci orang lain, dirimu sendiri tidak bahagia bahkan tersakiti secara
alami. Tetapi ketika kamu mencintai orang lain, semua orang menjadi
bahagia."
Netter yang bijaksana,
Saat kemarahan sedang menghampiri kita, tunda sejenak! Jangan biarkan dia lepas
tanpa kendali. Mengumbar kemarahan adalah pantulan ketidakbahagiaan.
Karenanya, mari kita belajar mengembangkan kebahagiaan setiap saat. Dengan
berbahagia, maka tidak akan muncul kemarahan dan kebencian. Tanpa kemarahan dan
kebencian, tidak ada proses menyakiti diri sendiri dan sesama.